Jumat, 29 Agustus 2014

Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan

kalian boleh bangga dengan 17.506 Pulau yang ada di indonesia, tapi apa kalian tau berapa pulau yang telah dicuri/dicaplok oleh negara tentangga. kita bahas 2 pulau yang telah lepas dari pangkuan ibu pertiwi (indonesia).






Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan.

1.sengketa.

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

Sengketa kepemilikan pulau itu tak kunjung reda,meski gejolak bia teredam. Sengketa Sipadan dan Lingitan kembali muncul ke permukaan pada 1969. Sayang, tidak ada penyelesaian tuntas sehingga kasus ini kembali mengembang.

2.Status Pulau.

Pulau Sipadan dan Lingitan merupakan pulau kecil yang luasnya 23 hektar. Pulau ligitan terdiri dari semak belukar dan pohon. Sementara itu Sipidan merupakan pucuk gunung merapi dibawah permukaan laut dengan ketinggian sekitar 700meter. Sampaai 1980-an  dua pulai ini tidak berpenghuni.

3.Sikap Indonesia.

Sikap indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional (MI)

Pemerintah Indonesia-Malaysia akhirnya sepakat membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional (MI) pada tahun 1997. Dalam putusan Mahkamah Internasional tang jatuh pada tanggal 17 Desember 2002, Indonesia dinyatakan kalah. Untuk menghadapi sengketa ini Indonesia sampai menyewa lima penasihat hukum asing dan tiga peneliti asing untuk membuktikan kepemilikannya.


Sayang segala upaya itu mentah di depan 17 hakim Mahkamah Internasional (MI). Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orng yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari Mahkamah Internasional (MI).

4.Keputusan Mahkamah Internasional (MI).

Kemenangan Malaysia, kata menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda berdasarkan keputusan atau pertimbangan efektivitas (effectivitee),yaitu pemerintah Inggris (penajajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan peraturan perlindungan satwa burung,pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930,dan operasi mercu suar sejak 1960-an . pemerintah Indonesia menyatakan rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya yang dilakukan oleh empat pemerintah Indonesia seja tahun 1997.

Namun, kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan khusus untuk bersama-sama mengajukan engketa kedua pulau ni ke Mahkamah Internasional (MI) pada tanggal 31 Mei 1997.


Lepasnya Pulau Sipadan dan Lingitan ini sebenarnya peringatan penting bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan pulau-pulau kecil yang berserakan.

indonesia masih mempunyai banyak pulau yang tanpa penghuni dan berbatasan langsung dengan negara tetangga. kita harus selalu menjaga pulau-pulau yang tak berpenghuni, janganlah mau dibodohi oleh negara lain. bangkitlah indonesia.


Pulau Sebatik, satu pulau dua kepemilikan

kalau kita bahas satu pulau dua kepemilikan, rata-rata orang berfikir pulau kalimantan, pulau irian jaya, tapi pulau ini ukurannya kecil, tapi di pengang oleh dua kepemilikan, mau tau, mari kita bahas aja daripada memikirkan terlalu keras.





Pulau Sebatik, Satu Pulau Dua Kepemilikan.

Sebatik merupakan salah satu pulau terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pulau ini menjadi pintu gerbang Indonesia di wilayah Kalimantan, tepatnya di bagian utara Provinsi Kalimantan Timur, yang berbatasan lansung dengan negeri Sabah, Malaysia.
Pulau Sebatik hanya berjarak 20 menit dari Nunukan dengan menggunakan speed boat. Merupakan salah satu pulau kecil terluar dari 31 pulau yang berpenduduk. Pulau ini terbagi dua wilayah antara Indonesia dan Malaysia dengan pembangunan yang sangat kontras.
Pada 1911-1942, pulau Sebatik merupakan daerah eksploitasi kayu bagi penjajah Belanda. Saat itu dilakukan pemasangan patok perbatasan Indonesia-Malaysia oleh Belanda dan kolonial Inggris. Status kepemilikan pulau Sebatik pun terbagi dua, yaitu wilayah selatan seluas 246,61 Km2 milik Indonesia dan wilayah utara 187,23 Km2 milik Malaysia.
Ambo Mang bin Haji Midok diyakini sebagai orang pertama yang membawa keluarganya menetap di Sebatik pada 1940, tepatnya di daerah Liang Bunyu. Sekarang terdapat ratusan kepala keluarga tinggal dan menetap di sana.
Potensi sumber daya hayati Sebatik cukup menjajikan jika dikelola dengan baik, seperti sektor kelautan dan perikanan (rumput laut dan udang), lahan pertanian, pekebunan (kelapa sawit), dan wisata tapal batas. Pada jasa kemaritiman, pulau Sebatik berhadapan langsung dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang merupakancompetitive advantage bagi pengembangan industri pelayaran, baik dalam negeri, luar negeri, maupun pelayaran khusus.
Sarana dan prasarana di pulau Sebatik relatif memadai dengan indikasi kondisi jaringan jalan poros yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan dan seluruh ibukota kecamatan secara eksisting telah terbentuk melingkar (mengelilingi pulau) sepanjang ± 79 km. Namun, kebutuhan energi listrik di pulau tersebut belum terpenuhi secara memadai dan merata.
Demikian pula keberadaan air bersih masih menjadi kebutuhan pokok yang sampai saat ini belum terakses  semua warga. Terdapat PDAM Tirta Darma yang berlokasi di Kecamatan Sebatik Utara, namun hanya mampu melayani 708 keluarga.
Pergeseran Patok Batas
Dalam dua tahun terakhir, terdapat beberapa isu strategis di wilayah Sebatik yang mengemuka, yaitu isu pergeseran patok perbatasan dan pemakaian uang ringgit. Bagai “dua sisi mata uang”, isu ini selalu dianggap sebagai ancaman NKRI. Isu lain yang tidak kalah penting adalah tidak seimbangnya perkembangan pembangunan wilayah di perbatasan dengan negara tetangga. Contohnya, fakta bahwa pembangunan Malaysia jauh lebih maju daripada wilayah RI di perbatasan yang memungkinkan terjadinya degradasi nasionalisme.

Namun, kebijakan terkait kawasan perbatasan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yaitu Perencanaan dalam Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, ternyata bersifat makro karena unit analisisnya adalah pulau besar. RPJMN 2010-2014 juga belum memberikan orientasi bagi pembangunan kawasan perbatasan/PPKT secara terpadu. Pendekatan sektoral masih lebih dominan dibandingkan pendekatan regional. Akibatnya, hingga kini belum ada rencana pembangunan yang berorientasi pada upaya pembangunan kawasan perbatasan yang terintegrasi dan rinci.

Sudah pantasnya kita harus menjaga pulau pulau indonesia karena siapa lagi yang bisa melindungi pulau pulau terluar dan terkecil, janganlah kita mau melepaskan meski sekecil apapun itu.